Hidup Berdampingan dengan Keadaan Kini
Istilah pandemi atau pandemi Covid-19 sejak tiga bulan terakhir ini menjadi semakin tidak asing di telinga kita, dan istilah tersebut sangat sering kita baca atau kita dengar dari berbagai media sumber informasi, terutama informasi publik. Kata pandemi menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) dapat diartikan sebagai wabah yang berjangkit serempak di mana-mana, meliputi daerah geografi luas. Pandemi yang pernah terjadi tidak hanya saat sekarang. Berkaca kepada sejarah, sejak sebelum abad ke-19 juga sudah pernah ada terjadi sebelumnya di bumi ini.
Semakin modern peradaban, maka semakin tinggi pergerakan manusia dari suatu tempat ke tempat lain. Begitu pula seiring semakin meningkatnya populasi, maka semakin cepat juga penyebaran wabah melalui perpindahan virus. Dengan demikian, penyakit mudah berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lainnya. Jika kita lihat pandemi yang terjadi sebelumnya yaitu Flu Spanyol tahun 1918 menginfeksi hampir 500 juta orang dengan total kematian sekitar 50 juta.
Dikenal dengan nama Flu Spanyol, karena hanya Negara Spanyol yang ketika itu pertama berani mengumumkan negaranya dilanda wabah ini. Lalu apa bedanya situasi pandemi Covid-19 sekarang? Situasinya memang berbeda. Pada masa dulu populasi tidak sebanyak sekarang, tidak banyak pergerakan manusia, namun dukungan teknologi dan pengetahuan medis saat itu belum mampu untuk menghambat penyebaran virus.
Sementara itu, Covid-19 lahir di era modern di mana teknologi informasi telah maju pesat, namun dampak perilaku dan ketidakdisiplinan membuat efek penyakit menular meningkat secara eksponensial. Kemajuan teknologi komunikasi seperti internet yang memungkinkan kita berbagi informasi hampir secara instan, terlepas dari informasi yang bersifat hoax. Kita bisa mengetahui informasi up to date setiap hari jumlah terinfeksi dan sembuh. Teknologi informasi ini memberi informasi relevan tentang dampak Covid-19 terhadap pergerakan orang, lingkungan, tren ekonomi dan banyak lagi yang bermanfaat, termasuk mendokumentasikan perubahan radikal dalam kegiatan sosial dan ekonomi yang terjadi sebagai respons terhadap pandemi Covid-19. Orang-orang secara signifikan mulai mengubah perilaku mereka, dan dampaknya tidak mempengaruhi semua orang secara setara.
Pandemi virus korona atau Covid-19 salah satu tantangan bersama yang paling sulit dihadapi umat manusia sejak perang dunia terakhir. Di tengah pandemi, otoritas kesehatan nasional, perusahaan farmasi, universitas dan lembaga penelitian berlomba untuk menemukan antivirus atau vaksin untuk menyelamatkan nyawa manusia. Pandemi juga berdampak sosial dan ekonomi terhadap masyarakat. Artinya selain memperhatikan keselamatan warganya, negara juga memberikan perhatian pada pergerakan roda perekonomian melalui berbagai skema, misalnya stimulus bantuan tunai. Perguruan tinggi dan lembaga-lembaga riset seolah-olah turut berlomba-lomba melakukan percepatan inovasi dalam sains dan teknologi dalam rangka mitigasi dampak penyebaran. Misalnya, pembuatan ventilator produksi lokal, robot untuk desinfektan, wastafel tanpa sentuh, dan lainnya. Inovasi selama pandemi tidak seperti masa normal yang membutuhkan waktu lebih lama. Barangkali ini didukung oleh tekad dan semangat untuk memutus mata rantai penyebaran virus. Pendekatan konvensional untuk inovasi berkaitan dengan teknologi kesehatan sudah mulai bergeser kepada pendekatan ekstra cepat untuk inovasi berorientasi kepada pembebasan dari Covid-19 dan penyelamatan dengan cegah penularan.
Menghadapi kondisi sepanjang vaksin belum ditemukan, tentu tidak ada pilihan lain bahwa kita harus belajar hidup dengan virus korona. Proses adaptasi menuju pola hidup baru tersebut tidak mudah. Psikologi Klinis Ida Ayu Saraswati Indraharsani mengatakan penerapan new normal dapat mempengaruhi kesehatan mental. Pasalnya, banyak tantangan harus dihadapi masyarakat untuk menjalankan kehidupan tersebut. “Dalam proses masuk ke kehidupan itu, seseorang mungkin saja menolak beradaptasi yang akhirnya menjadi stres,” kata Saraswati, mengutip dari Antara, Senin (28/5). Psikolog di Lembaga Perlindungan Perempuan dan Anak Kabupaten Badung, Bali, itu menekankan penting kesehatan mental sebelum mulai masuk ke new normal. Hal tersebut bukan persoalan kejiwaan, tapi juga berpikir rasional untuk mengekspresikan emosi dan berperilaku tepat. Anak-anak perlu mendapat pembekalan untuk menghadapi normal baru. “Salah satu persiapan yang dapat orang tua lakukan adalah memberikan gambaran mengenai penyebab Covid-19 dan kondisi lingkungan sekitar,” ucap psikolog Klinik Pela 9 Wanda Anastasi. Pemahaman sederhana untuk anak-anak tentang norma hidup baru adalah kembali berkegiatan normal dengan tetap menjaga protokol kesehatan karena pandemi masih terjadi. Secara fisik, menurut Wanda, mereka juga harus dibiasakan disiplin menjaga kebersihan dan kesehatan diri, serta tetap menjaga fisik saat berinteraksi dengan teman atau orang lain.
Lantas, apa saja pola hidup new normal di tengah pandemi Covid-19? Berikut daftarnya:
1. Masker adalah benda wajib Setiap keluar rumah, setiap orang wajib memakai masker. Cara ini bukan hanya untuk melindungi diri dari infeksi virus corona, tapi juga menghindari orang di sekitar tertular. Seseorang yang terinfeksi Covid-19 belum tentu menunjukkan gejala, tapi ia sudah pasti dapat menularkannya ke orang lain kalau tidak mematuhi protokol kesehatan. Para mahasiswa melakukan olahraga di asrama selama pandemi corona.
2. Jaga kebersihan dan kesehatan diri Setelah berbulan-bulan melakukan isolasi, tentu tak mudah untuk kembali berinteraksi atau berada di sekitar orang banyak. Kekhawatiran takut tertular pasti membayangi Anda. Strateginya sebenarnya sederhana. Setiap berada di luar rumah, Anda perlu ingat untuk menjaga jarak dengan orang lain, rajin cuci tangan dengan sabun dan air mengalir selama minimal 20 detik, makan dengan gizi seimbang, rutin berolahraga dan berjemur, serta istirahat yang cukup. Para ahli percaya semua aktivitas ini dapat menghindari Anda tertular dari Covid-19 dan meningkatkan imunitas tubuh. Ketika kembali ke rumah, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/328/2020 menuliskan protokolnya. Ada tiga langkah yang harus dilakukan. Pertama, jangan bersentuhan dengan anggota keluarga sebelum membersihkan diri, yaitu mandi dan mengganti pakaian kerja. Kedua, cuci pakaian dan masker dengan deterjen. Terakhir, bersihkan telepon seluler atau ponsel, kacamata, dan tas dengan disinfektan. Ilustrasi menabung di bank di tengah pandemi corona.
3. Lebih banyak menabung, kurangi pengeluaran Hampir tiga bulan ini mungkin pengeluaran Anda menjadi lebih terarah untuk kebutuhan penting, bukan berbelanja impulsif. “Perilaku konsumen di dunia pasca-karantina adalah lebih konservatif dengan pengeluaran mereka,” tulis hasil analisis Glenmede yang dipimpin oleh Jason Pride, dikutip dari Forbes. Pola ini konsisten dengan setiap terjadi krisis. Pada saat krisis keuangan global 2008-2009, tingkat orang yang menabung di Amerika Serikat naik 2%. Sebuah survei McKinsey & Company juga menunjukkan warga di negara itu akan tetap bersikap konservatif dalam kondisi normal baru. Kemunculan virus corona membuat orang lebih berhemat. Masa depan terlihat tidak pasti dan rapuh. Banyak orang tidak mau mengambil resiko, apalagi membeli barang-barang tidak perlu. Kalau kondisi perekonomian memburuk, lebih baik memang menabung daripada berbelanja. Perilaku ini layaknya peribahasa sedia payung sebelum hujan.
Sumber:
Belajar Hidup dengan Covid-19 untuk Hadapi New Normal
Adaptasi ke New Normal, Pola Hidup Apa Saja yang Harus Dijalankan?