Siapkah Kita Menjalani New Normal?
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan tidak ada "cara cepat" untuk melawan virus corona COVID-19. Menurut WHO Regional Director for Europe, Dr Hans Henri P. Kluge, negara-negara terutama di Eropa telah memasuki periode untuk menyesuaikan langkah dengan cepat dan meredakan pembatasan secara bertahap. "Sambil terus-menerus memantau keefektifan tindakan-tindakan ini dan respons publik. Pada akhirnya, perilaku kita masing-masing akan menentukan perilaku virus. Ini akan membutuhkan ketekunan dan kesabaran, tidak ada jalur cepat untuk kembali normal," ujarnya.
Indonesia menjadi salah satu negara yang hendak melakukan skenario new normal atau normal baru. New normal adalah skenario untuk mempercepat penanganan COVID-19 dalam aspek kesehatan dan sosial-ekonomi. Pemerintah telah mengumumkan rencana untuk mengimplementasikan skenario new normal dengan mempertimbangkan studi epidemiologis dan kesiapan regional. WHO mengingatkan, setiap negara yang hendak melakukan transisi, pelonggaran pembatasan, dan skenario new normal harus memperhatikan hal-hal berikut ini:
- 1. Bukti yang menunjukkan bahwa transmisi COVID-19 dapat dikendalikan.
- 2. Kapasitas sistem kesehatan dan kesehatan masyarakat termasuk rumah sakit tersedia untuk mengidentifikasi, mengisolasi, menguji, melacak kontak, dan mengkarantina.
- 3. Risiko virus corona diminimalkan dalam pengaturan kerentanan tinggi , terutama di panti jompo, fasilitas kesehatan mental, dan orang-orang yang tinggal di tempat-tempat ramai.
- 4. Langkah-langkah pencegahan di tempat kerja ditetapkan - dengan jarak fisik, fasilitas mencuci tangan, dan kebersihan pernapasan.
- 5. Risiko kasus impor dapat dikelola.
- 6. Masyarakat memiliki suara dan dilibatkan dalam kehidupan new normal.
Keenam poin tersebut mesti dipenuhi setiap negara yang ingin menerapkan konsep new normal. Lalu, bagaimana dengan new normal ala Indonesia?
Setidaknya ada tiga poin yang dikeluarkan pemerintah Indonesia sebagai syarat untuk menerapkan new normal. Hal ini disampaikan oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Suharso Monoarfa, dengan mengklaim konsep new normal di Indonesia merujuk pada persyaratan yang dikeluarkan WHO, seperti berikut:
- 1. Tingkat penularan corona reproductive number (R0) di suatu wilayah harus di bawah 1. Artinya, tidak ada lagi penularan virus corona antarmanusia di suatu wilayah yang ingin menerapkan new normal. Ini dihitung selama 14 hari dari tidak ada lagi laporan COVID-19.
- 2. Kesiapan sistem kesehatan. New normal akan berlaku jika kapasitas dan adaptasi sistem kesehatan di Indonesia sudah mendukung untuk pelayanan COVID-19 yang bukan tidak mungkin akan naik jika Pembatasan Sosial Bersakala Besar (PSBB) dilonggarkan.
- 3. Jumlah test atau surveillance, yaitu kemampuan pemerintah untuk mengetes corona. PSBB bisa dilonggarkan dan new normal bisa berlaku jika pemerintah bisa memenuhi target mengetes dengan kapasitas 10-12 ribu per hari.
Secara garis besar, konsep penerapan new normal versi Indonesia dan WHO hampir sama, kendati ada beberapa poin yang tidak dimasukkan. Pertanyaannya, apakah Indonesia sudah siap melaksanakan new normal?
Jika dilihat dari angka penularan virus corona di Jakarta yang akan segera menerapkan konsep new normal, sejak pemberlakuan PSBB, grafik kasus corona di Jakarta naik-turun. Namun akhir-akhir ini, di masa PSBB periode ketiga, angka pertambahan kasus cenderung positif stabil dan tidak ada lonjakan.
Dalam sepekan, rataan pertambahan kasus 90 per hari. Data dalam kurun 20-25 Mei, pertambahan harian kasus corona di Jakarta yaitu 70, 96, 127, 118, dan 67. Sementara jumlah tes corona di Jakarta juga menjadi yang tertinggi di Indonesia. Rata-rata, 2.600-2.800 tes PCR dan TCM dalam sehari.
Untuk R0, kini Jakarta masih di atas angka 1. Artinya, masih ada kemungkinan 1 orang menulari 1 orang lainnya. Data ini harus ditekan dan menjadi syarat mutlak penerapan new normal di Jakarta.
Bagaimana dengan tes PCR? Uji spesimen corona di Indonesia terpantau masih belum mencapai target 10.000 tes per hari. Tercatat, hanya dua hari pemerintah Indonesia mampu memenuhi target pengujian, yakni pada Selasa (19/5) mencapai 12.276 tes; dan Sabtu (23/5) 10.617 tes spesimen per hari. Sedangkan, per Senin (25/5), uji spesimen kembali mengalami penurunan, yakni 8.391 spesimen.
Bagaimanapun, pelonggaran PSBB dengan dalih menerapkan konsep new normal untuk membangkitkan perekonomian harus dilakukan dengan hati-hati. Karena menurut Pandu Riono, ahli epidemiologi sekaligus Staf Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, jika masyarakat tidak waspada dan pemerintah tidak berhati-hati dalam mengambil kebijakan, maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi pandemi gelombang kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya.
Kluge berpesan, jika negara tidak dapat memastikan kriteria dari WHO sebelum mengurangi batasan, maka sebaiknya pikirkan kembali. Ia mengatakan, COVID-19 tidak kenal ampun dan memiliki kemampuan untuk membanjiri sistem kesehatan terkuat di Eropa dengan cepat. "Jika negara tidak memiliki kesiapsiagaan masyarakat dan pemerintah untuk merespons, jika tenaga kesehatan Anda tidak dilatih, diperlengkapi dan dilindungi, jika warga negara Anda tidak diberi informasi dan diberdayakan dengan informasi berbasis bukti, maka pandemi akan menyapu komunitas Anda, bisnis dan sistem kesehatan, mengambil nyawa dan mata pencaharian," katanya. Ia meminta negara yang hendak menerapkan new normal untuk menyaksikan, mempelajari, dan mendengarkan satu sama lain, khususnya dari negara-negara yang sudah mengambil langkah-langkah untuk meringankan pembatasan dan transisi ke new normal.
Solidaritas menjadi kunci antara otoritas kesehatan dan pimpinan gugus tugas COVID-19 di masing-masing negara. Kluge mengatakan, kita masih berada di tengah badai. Namun, ketika kita bisa menerapkan tindakan yang terbukti, seperti memastikan negara dapat mengidentifikasi, mengisolasi, dan menguji semua kasus yang dicurigai, dan mengkarantina serta memantau kesehatan semua kontak dekat; memberikan perawatan kepada mereka yang membutuhkan; menerapkan jarak fisik, kita dapat menghentikan virus ini. "Setiap langkah untuk transisi menuju new normal harus dipandu oleh prinsip kesehatan masyarakat, bersama dengan pertimbangan ekonomi dan sosial. Kita belajar lebih baik, bersama. Sekarang, lebih dari sebelumnya, saya menyerukan solidaritas antar negara. Inilah saatnya untuk meningkatkan dan menunjukkan kepemimpinan yang responsif dan bertanggung jawab untuk mengarahkan kita melewati badai ini," pungkas Kluge.
Sumber:
Syarat New Normal dari WHO: Negara Sudah Mampu Kendalikan COVID-19